Perpustakaan dan Era Industri 4.0

Oleh: Rhoni Rodin

KalbarOnline, Opini – Memasuki perubahan iklim informasi era digital seperti sekarang ini, perpustakaan dan pustakawan harus membuka mata hati untuk bersinergi dengan perubahan. Perpustakaan dan pustakawan harus dapat menakar ulang seberapa besar perannya dalam retrospeksi dan reposisi di era disrupsi teknologi seperti sekarang ini. Walaupun zaman terus berkembang, perpustakaan senantiasa memegang peranan penting sebagai sumber ilmu pengetahuan. Terlebih lagi di era industry 4.0.

Saat ini perpustakaan tidak bisa lagi dikelola secara konvensional. Sesjen Kementerian Ristekdikti, Ainun (2018) mengatakan bahwa perpustakaan harus bertransformasi mengikuti perkembangan teknologi agar dapat menjawab kebutuhan masyarakat. Perpustakaan kedepannya tidak hanya menjadi tempat berkumpul untuk membaca buku ataupun mencari informasi, namun perpustakaan dapat menjadi working space tempat munculnya inovasi-inovasi baru dan pengembangan kreativitas.

Perpustakaan juga dapat menjadi suatu virtual office yang menjadi wadah bagi generasi muda untuk menambah wawasan dan mengembangkan kreativitas dan inovasi-inovasi yang konstrukif..

Revolusi Industri 4.0

Istilah Industri 4.0 sendiri secara resmi lahir di Jerman tepatnya saat diadakan Hannover Fair pada tahun 2011 (Kagermann dkk, 2011). Negara Jerman memiliki kepentingan yang besar terkait hal ini karena Industri 4.0 menjadi bagian dari kebijakan rencana pembangunannya yang disebut High-Tech Strategy 2020.

Kebijakan tersebut bertujuan untuk mempertahankan Jerman agar selalu menjadi yang terdepan dalam dunia manufaktur (Heng, 2013). Beberapa negara lain juga turut serta dalam mewujudkan konsep Industri 4.0 namun menggunakan istilah yang berbeda seperti Smart Factories, Industrial Internet of Things, Smart Industry, atau Advanced Manufacturing.

Meski memiliki penyebutan istilah yang berbeda, semuanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan daya saing industri tiap negara dalam menghadapi pasar global yang sangat dinamis. Kondisi tersebut diakibatkan oleh pesatnya perkembangan pemanfataan teknologi digital di berbagai bidang.

Lebih lanjut, Angela Merkel (2014) berpendapat bahwa Industri 4.0 adalah transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi di industri melalui penggabungan teknologi digital dan internet dengan industri konvensional. Sedangkan Schlechtendahl dkk (2015) menekankan definisi kepada unsur kecepatan dari ketersediaan informasi, yaitu sebuah lingkungan industri di mana seluruh entitasnya selalu terhubung dan mampu berbagi informasi satu dengan yang lain.

Pengertian yang lebih teknis disampaikan oleh Kagermann dkk (2013) bahwa Industri 4.0 adalah integrasi dari Cyber Physical System (CPS) dan Internet of Things and Services (IoT dan IoS) ke dalam proses industri meliputi manufaktur dan logistik serta proses lainnya. CPS adalah teknologi untuk menggabungkan antara dunia nyata dengan dunia maya. Penggabungan ini dapat terwujud melalui integrasi antara proses fisik dan komputasi (teknologi embedded computers dan jaringan) secara close loop (Lee, 2008).

Hermann dkk (2015) menambahkan bahwa Industri 4.0 adalah istilah untuk menyebut sekumpulan teknologi dan organisasi rantai nilai berupa smart factory, CPS, IoT dan IoS. Smart factory adalah pabrik modular dengan teknologi CPS yang memonitor proses fisik produksi kemudian menampilkannya secara virtual dan melakukan desentralisasi pengambilan keputusan.

Baca Juga :  Refleksi Prahara Penobatan “Mak Repek”: Jatuhnya Marwah Kesultanan Pontianak di Tangan Sultan Syarif Mahmud Melvin Alkadrie?

Melalui IoT, CPS mampu saling berkomunikasi dan bekerja sama secara real time termasuk dengan manusia. IoS adalah semua aplikasi layanan yang dapat dimanfaatkan oleh setiap pemangku kepentingan baik secara internal maupun antar organisasi.

Revolusi industri 4.0 merupakan integrasi antara dunia internet atau online dengan dunia usaha atau produksi di sebuah industri. Artinya, semua proses produksi ditopang dengan internet. Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto mengatakan bahwa revolusi industri 4.0 merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan, namun menjadi peluang baru, sehingga Indonesia perlu mempersiapkan diri.

Revolusi Industri 4.0 berjalan secara eksponensial. Kemungkinan miliaran manusia akan terhubung mobile devices, dengan kemampuan dan kekuatan untuk memproses, menyimpan, dan mengakses pengetahuan melalui internet, sangat tidak terbatas. Luasan serta kedalaman dampak perubahan telah, sedang, dan akan mentransformasi sistem produksi, manajemen, serta tata kelola pemerintahan.

Perpustakaan: Transformasi dan Disrupsi

Sis Ismiyati (2018) mengatakan bahwa ada beberapa kiat-kiat yang harus dijalankan oleh pengelola perpustakaan agar perpustakaan tidak semakin tergerus oleh dahsyatnya perkembangan globalisasi saat ini.  Perpustakaan harus berani merubah mindset yang awalnya sebagai pusat informasi, saat ini harus berubah tidak hanya menjadi pusat informasi saja, tetapi harus sebagai pusat aktivitas.

Perpustakaan harus siap berbenah diri, perpustakaan harus siap bertransformasi. Perpustakaan menjadi tempat untuk mempersiapkan pemustakanya menjadi penuh kemampuan (skillfull) bukan hanya dengan teori (pengetahuan) semata, namun juga melalui praktikum, dengan aktivitas yang mendukung sesuai kreativitasnya.

Sementara itu, Erland Cahyo Saputro (2018) menambahkan dalam upaya menghadapi tantangan di era 4.0 ini adalah perpustakaan harus berani beradaptasi terhadap perkembangan teknologi saat ini, tidak menutup diri atas kemajuan teknologi, sebab perpustakaan memiliki peran penting sebagai pusat sumber ilmu pengetahuan. Sedangkan saat ini, di era yang serba instant seperti sekarang ini, masyarakat menginginkan informasi yang cepat dan mudah aksesnya.

Sedangkan, Muhammad Rohmadi (2018) menyatakan bahwa kunci awal dalam menghadapi teknologi era 4.0 ini adalah dimulai dari pengelola atau pustakawannya. Pustakawan harus open minded terhadap kemajuan teknologi. Adapun kepemimpinan, kegigihan seorang pustakawan menjadi kunci awal keberhasilan dalam menghadapi era 4.0 ini.

Perpustakaan harus aktif menjalin kerjasama (networking) dengan perpustakaan yang lain, karena perpustakaan pasti memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Dengan aktif menjalin kerjasama dan saling bersinergi antar perpustakaan, maka perpustakaan sebagai pusat ilmu pengetahuan, sebagai pusat aktivitas dan sebagai pusat rekreasi akan semakin dapat dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat secara luas.

Transformasi ini juga disambut berbagai industri, pemerintahan, lembaga pendidikan bahkan perpustakaan. Semua berusaha untuk menyesuaikan dan menyelaraskan dengan perubahan iklim informasi era digital yang menantang seperti sekarang ini.

Baca Juga :  Apple sells 10 million iPhone 6 and iPhone 6 Pluses

Contoh, transformasi teknologi digital oleh industri besar sektor manufaktur, akan tetapi masih tidak sejalan dengan peningkatan kompetensi tenaga kerja dan mengakibatkan banyak tenaga kerja yang terpangkas secara perlahan karena kurangnya kompetensi mereka akibat disrupsi digital ( Kompas, Sabtu 24 November 2018 halaman 1 ).

Contoh lain adalah disrupsi teknologi pada perusahaan pengelola jalan tol. Lihatlah kisah mereka. Jalan favorit para pengendara yang ingin melintas dengan cepat dan tepat waktu, dulu dijaga oleh pegawai di setiap pintu sehingga membutuhkan SDM yang banyak untuk memperlancar arus kendaraan sistem cepat tanpa macet.

Ribuan tenaga dibutuhkan dalam operasional setiap harinya. Tapi keadaan sekarang bagaimana? Mereka terdampak disrupsi teknologi tanpa ampun. Mereka yang berjumlah ribuan, tiba-tiba harus diberhentikan dan digantikan dengan mesin pembaca barcode. Benda kecil yang praktis untuk menjalankan operasional sesuai harapan manajemen. Lalu mereka dikemanakan? Apakah mereka masih bekerja atau di PHK?

Apakah nasib pustakawan akan berujung sama seperti mereka? Bisa jadi iya. Apabila pustakawan masih pasif, tidak mau memperbaharui ilmu, maka lambat laun mereka akan tersingkir layaknya pekerja jalan tol. Betapa tragis dan memilukan apabila hal tersebut benar terjadi. Pustakawan dapat belajar dari hal tersebut. Bahwa kebutuhan manusia saat ini tertuju pada perubahan yang sangat besar. Dan di sinilah peran profesional pustakawan harus ditunjukkan.

Oleh karena itu, pustakawan harus up to date, menerima, memaknai dan menjalankan perubahan dengan sikap dan tindakan nyata melalui karya-karya dan inovasi bidang kepustakawaan. Pustakawan harus menyesuaikan perkembangan dan meningkatkan profesionalitas bidang teknologi, manajemen, relationship, membangun daya saing dengan menyajikan konten digital yang beragam.

Pustakawan harus menjadi partner informasi generasi milenial melalui pelaksanaan tupoksi yang dijalankan secara optimal. Merekalah pustakawan singkong keju, pustakawan peka zaman yang sangat menggoda untuk dikunjungi oleh pemustaka.

Begitu juga perpustakaannya, juga harus menerima kemajuan teknologi informasi. Implementasi teknologi dalam hal ini Teknologi Informasi bukan merupakan hal yang mudah dan murah. Untuk itu apabila perpustakaan ingin mengimplementasikan Teknologi Informasi dalam layanan dan aktifitasnya perlu direncanakan secara matang.

Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak ada kesia-siaan dalam perencanaan dan pengembangan yang berakibat pula pada pemborosan waktu, tenaga, pikiran dan keuangan. Menurut Arif Surachman, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam rangka penerapan Teknologi Informasi pada perpustakaan, yakni: Dukungan Top Manajemen/ Lembaga Induk; Kesinambungan/ Kontinuitas; Perawatan dan Pemeliharaan; Sumber Daya Manusia; Infrastruktur Lainnya seperti Listrik, Ruang/ Gedung, Furniture, Interior Design, Jaringan Komputer, dsbnya; Pengguna Perpustakaan seperti faktor kebutuhan, kenyamanan, pendidikan pengguna, kondisi pengguna, dan lain-lain.

Hal-hal inilah yang akan menentukan sejauh mana penerapan Teknologi dan Informasi di perpustakaan khususnya di layanan perpustakaan dapat berjalan dengan baik. Beberapa hal inilah yang menjadi starting point perpustakaan dalam menghadapi era industri 4.0.

Berangkat dari pemaparan di atas, perpustakaan hendaknya menyikapi kemajuan teknologi informasi terutama era industry 4.0 sekarang ini secara bijak dan terbuka. Perpustakaan harus menyikapinya secara positif sehingga perpustakaan tidak ditinggalkan oleh para penggunanya. Era industri 4.0 ini menjadi cambuk bagi perpustakaan dan pustakawan untuk berbenah dan melakukan yang terbaik untuk eksistensi perpustakaan di tengah masyarakat sehingga bisa memberikan kontribusi yang positif bagi generasi-generasi yang akan datang.

*) Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Perpustakaan IAIN Curup. Tutor UT Palembang Jurusan Ilmu Perpustakaan. Pustakawan Madya IAIN Curup.

Comment