Soeharto: Nyatanya Saya Tidak Korupsi

Kalbaronline.com – Dalam biografinya Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia, 1965-1998, Jusuf Wanandi menulis soal pertemuan sobatnya sesama aktivis pemuda Katolik, Harry Tjan Silalahi, dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, saat itu Menteri Ekonomi, pada akhir 1965. Situasi Jakarta kala itu masih sangat panas. Pembunuhan para jenderal Angkatan Darat baru lewat dua bulan.

Harry Tjan datang bersama Mashuri Saleh—belakangan jadi Menteri Pendidikan—untuk membujuk Sultan supaya mendukung Mayor Jenderal Soeharto. “Kalian yakin dengan pilihan kalian? Kalian tahu apa arti nama dia? Uang,” kata Sultan soal Soeharto. Raja Yogyakarta itu rupanya tak percaya kepada Soeharto.

Menurut Sultan, Soeharto pernah mendapat tugas menjaga sejumlah gudang penyimpanan barang peninggalan Belanda, tapi tak jelas pertanggungjawabannya. Yang jadi soal, kata Harry Tjan, tak ada tokoh lain kala itu yang dipandang siap mengambil alih kekuasaan dari Bung Karno kecuali Jenderal Soeharto. Sultan, apa boleh buat, sepakat dengan pendapat Harry Tjan.

Jauh sebelum berkuasa di Istana, Soeharto sudah lama kenal “uang” dan “bisnis”. Sebagai komandan tentara sejak masih Panglima Divisi Diponegoro di Semarang, demikian pula setelah menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Soeharto paham, prajurit-prajuritnya tak cuma butuh makan. Sedangkan anggaran dari Jakarta sangat tipis. “Bisnis” itu terus berlanjut hingga dia jadi orang nomor satu di negeri ini selama 32 tahun.

Sikap Soeharto soal korupsi dan konflik kepentingan memang tak pernah benar-benar hitam atau putih. Ketika memperingati Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta pada awal 1990-an, Soeharto berpidato soal apa yang jadi perhatiannya, ”Tanggung jawab utama kita sekarang adalah merawat keluarga kita, karena kita sudah banyak berbuat untuk bangsa dan negara.”

Atas nama “merawat” keluarga inilah dia memberikan “kesempatan” seluas-luasnya kepada keluarganya untuk memanfaatkan pengaruh kekuasaannya. Kepada wartawan senior Salim Said, Wakil Presiden Try Sutrisno pernah bercerita soal perbincangannya dengan Soeharto mengenai gurita bisnis anak-anak Cendana.

“Try, apakah ada aturan atau undang-undang yang melarang anak pejabat berbisnis? Kalau ada, saya tak mau jadi presiden. Kan tidak ada larangan itu. Mau jadi tentara, pegawai negeri, atau pengusaha, semua boleh,” Try Sutrisno mengutip kata-kata Presiden Soeharto.

Bertahun-tahun lalu, wartawan majalah Far Eastern Economic Review bertanya kepada Moerdiono, Menteri-Sekretaris Negara, yang selalu bermuka kuyu itu, soal kritik terhadap rupa-rupa bisnis anak-anak Presiden Soeharto: Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Hutomo “Tommy” Mandala Putra, Siti Hediati Hariyadi alias Titiek, dan Siti Hutami Endang Adiningsih, yang biasa disapa Mamiek.

“Pak Harto tahu banyak kritik soal bisnis anak-anaknya,” kata Moerdiono. Dengan nada bercanda, dia mengutip penjelasan Soeharto soal bisnis anak-anak dan keluarga bosnya yang ada di mana-mana itu.

“Suatu kali, Pak Harto bertanya kepadaku, ‘Tahukah kamu artinya Toshiba.’ Aku jawab, ‘Tidak, Pak, saya tidak tahu.’ Toshiba adalah singkatan dari Tommy, Siti, Sigit, dan Bambang. Kalian ingin dapat kontrak dari pemerintah? Maka belilah Toshiba,” kata Moerdiono, terbahak.

Baca Juga :  Tak Tolerir Mark Up dan Fiktif

Nyaris di semua jenis usaha ada jejak “Toshiba”, juga kerabat Cendana lain. Tommy, misalnya, pernah terlibat proyek mobil nasional dan tata niaga cengkeh. Kedua proyek besar ini gagal total. Atas “kemurahan hati” Liem Sioe Liong pula, Mbak Tutut dan adiknya, Sigit, punya saham lumayan besar di bank swasta terbesar di Indonesia kala itu, BCA. Bersama Bob Hasan, sobat lama bapaknya, Sigit juga pernah punya saham di perusahaan otomotif terbesar di negeri ini, Astra International, dan Freeport Indonesia lewat PT Nusantara Ampera Bakti (Nusamba).

Sampai akhir hidupnya, Pak Harto tetap meyakini bahwa dia tak korupsi. Setelah turun dari kekuasaan, dia tinggal sendiri di rumah lamanya di Jalan Cendana. Bisa dibilang hidupnya sangat sederhana. Semua duit yang dikumpulkan di yayasan-yayasan, menurut Soeharto, dia pakai untuk menolong orang.

“Biarken saja dituduh korupsi…. Biarken ngomong pating celomet. Biarken saja disangka korupsi, nyatanya saya tidak korupsi,” kata Soeharto, dalam satu wawancara langka dengan majalah Gatra, pada 2007. Majalah ini dimiliki oleh sahabat lamanya, Mohamad “Bob” Hasan.

* * *

Pada 24 September 1995, rumah model joglo di Peternakan Tri-S, Tapos, Bogor, riuh oleh kedatangan sekitar 150 orang peserta Musyawarah Nasional Kerukunan Usahawan Kecil dan Menengah Indonesia III. Presiden Soeharto secara khusus mengundang mereka ke lahan peternakannya. Orang terkuat di Indonesia tersebut khusus berbicara soal kolusi dan monopoli yang makin santer diributkan segelintir politikus. Terutama soal kedekatannya dengan taipan Sudono Salim alias Liem Sioe Liong, pendiri konglomerasi Grup Salim.

Saat itu dua perusahaan besar yang berada dalam naungan Grup Salim, PT Bogasari Flour Mills dan PT Indocement Tunggal Perkasa, disorot sebagai perusahaan yang banyak menikmati fasilitas dari pemerintah. Dua perusahaan ini memang banyak menikmati keistimewaan dari pemerintah.

“Bogasari dibangun pada tahun 1970-an oleh orang bernama Om Liem. Dia pengusaha yang saya kenal sejak di Semarang. Dia datang kepada saya dengan suara celat (cadel) mengatakan, ‘Pak, saya ini olang kelja, untuk lakyat apa yang harus saya lakukan,” ujar Soeharto dengan nada berkelakar.

Liem sendiri, kata Presiden Soeharto, yang datang kepadanya minta tugas, mau kerja tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. “Lalu saya bilang, ‘Kamu jangan hanya dagang saja, tapi bangun industri dan industri yang dibutuhkan rakyat sekarang ini adalah pangan. Apakah kamu punya teman di luar negeri untuk mendukung permodalan?’ Lalu, dijawab ada. Baiklah, kalau begitu, kamu dirikan pabrik tepung terigu,” ujar Soeharto menceritakan dialognya dengan Liem.

Soal pabrik semen, menurut Soeharto, dia jugalah yang “menugaskan” Liem bersama kawan-kawannya—termasuk Sudwikatmono, adik sepupu Soeharto—untuk membangun. Waktu itu ada Kaiser Cement & Gypsum dari Amerika Serikat yang menyatakan sanggup mendirikan pabrik semen.

Tapi, kata Soeharto, kebutuhan semen mendesak dan terus meningkat. Kalau permintaan investor Amerika tersebut dikabulkan, Indonesia tidak akan bisa mandiri. “Maka saya bilang kepada Om Liem, kamu sanggup mendirikan pabrik semen? Dia jawab sanggup. Baik, kalau begitu, dirikan saja,” kata Suharto.

Baca Juga :  Tiba di Indonesia, 1,2 Juta Dosis Vaksin Sinovac Tunggu Izin BPOM

“Inilah antara lain yang disorot sebagai monopoli, padahal ada tugas tertentu untuknya. Ini bukan kolusi saya dengan Om Liem, tapi untuk kepentingan bangsa dan negara. Dan dia minta saya olang kelja apa yang harus saya lakukan, maka saya beri petunjuk ini dan itu,” kata Suharto sambil tertawa. Suharto menuding ada yang memanfaatkan hubungan karibnya dengan Liem itu untuk dijadikan “gorengan” politik.

Presiden Soeharto, menurut mantan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung, sangat peka terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat, termasuk peranan konglomerat keturunan Tionghoa. “Pertemuan di Tapos itu memang khusus menyampaikan pesan kedekatan Pak Harto dengan Om Liem,” ujar Akbar, mantan menteri di Kabinet Soeharto, kepada detikX.

Eks anggota DPR dari Partai Golkar yang juga kawan lama keluarga Salim, Palar Batubara, mengatakan keistimewaan yang didapatkan Liem karena dekat dengan kekuasaan saat itu tak hanya digunakan untuk kepentingannya sendiri. Liem banyak mendidik orang-orang muda yang kelak menjadi pengusaha besar. “Dia pebisnis profesional, bukan hanky-panky. Pak Harto juga banyak memberi kesempatan kepada pengusaha lain,” kata Palar dua pekan lalu.

Liem, juga Bob Hasan, adalah sahabat lama yang bisa diandalkan Soeharto untuk apa saja. Mereka tak cuma jadi “ATM” untuk yayasan-yayasan Soeharto, plus “mentor” bisnis untuk anak-anak Cendana, tapi kadang mendapat tugas untuk menyelesaikan rupa-rupa masalah.

Ketika Ibnu Sutowo, saat itu bos besar Pertamina, berselisih dengan raja tanker dari Swiss, Bruce Rappaport, pada pertengahan 1970-an, Liem pulalah yang diam-diam diutus ke Singapura untuk jadi juru runding bersama Menteri Perdagangan Radius Prawiro dan Menteri Penertiban Aparatur Negara J.B. Soemarlin. Rappaport menggugat pemerintah Indonesia atas tanker-tanker pesanan Pertamina yang tidak dibayar sebesar US$ 1,55 miliar. Urusan itu beres.

Hubungan antara Liem, sang konglomerat, dan Soeharto, Presiden Indonesia, memang istimewa. Berulang kali Soeharto berpaling kepada sahabatnya itu setiap kali keluarga atau temannya tersandung masalah. Dan hubungan istimewa itu masih berlanjut, bertahun-tahun setelah Liem “pensiun” dari Grup Salim dan Soeharto lengser dari Istana.

Saat Liem merayakan ulang tahunnya ke-90 di Singapura, sekitar sepuluh tahun lalu, Keluarga Cendana mendapat undangan khusus. Tiga putri Soeharto, Tutut, Titiek, dan Mamiek, diberi meja istimewa di antara sekitar 2.500 tamu undangan yang memenuhi The Island Ballroom Hotel Shangri-La. “Mereka duduk di dekat keluarga Liem,” ujar Metta Dharmasaputra, wartawan Indonesia yang juga hadir di ruangan itu di antara pengusaha dan pejabat-pejabat dari Jakarta.

Menjelang berakhirnya pesta, ketiga putri Soeharto mendatangi Om Liem. Anthoni Salim, yang berada di samping ayahnya, membisikkan nama-nama mereka. Mereka lalu menjabat lelaki tua itu dengan erat sambil tersenyum. Liem pun membalas jabatan itu dengan takzim sambil memandang mereka satu per satu. “Saya ingat momen salaman itu memang kelihatan betul Om Liem masih sangat menghormati keluarga Soeharto,” ujar Metta.

 

Comment