Saprahan Kearifan Lokal yang Harus Dilestarikan

Festival Saprahan Tingkat SLTP

KalbarOnline, Pontianak – Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pontianak menggelar Festival Saprahan tingkat SMP se-Kota Pontianak, Selasa (26/9). Festival Saprahan diikuti 23 peserta yang berlangsung di Rumah Adat Melayu Jalan Sultan Syahril dengan mengangkat tema ‘Bikin Pontianak Bangge’ dalam rangka menyambut Hari Jadi Kota Pontianak yang ke-246.

Pj Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Pontianak, Zumiyati mengatakan bahwa festival Saprahan bagian dari upaya Pemerintah Kota (Pemkot) Pontianak menggali budaya dan mengenalkan budaya Kota Pontianak sebagai kearifan lokal yang harus dilestarikan.

“Kalau budaya Saprahan ini tidak kita kenalkan kepada generasi muda nantinya bisa hilang, sekarang ini hanya orang-orang tua saja yang tahu mengenai Saprahan ini,” katanya.

Untuk itu Pemkot Pontianak menginginkan semua sekolah setingkat SLTP se Kota Pontianak ke depannya mewajibkan harus mengikutinya, baik itu sekolah negeri maupun swasta.

“Kerena melalui pelajarlah warisan budaya Saparan ini bisa terjaga. Lebih dari upaya pelestarian, budaya Saprahan memiliki makna besar dalam melestarikan sikap sosial masyarakat yakni nilai-nilai kebersamaannya,” harapnya.

Sementara Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pontianak, Mulyadi mengatakan saat ini pihaknya sedang menyusun buku muatan lokal (mulok) yang isinya banyak memuat budaya sebagai kearifan lokal yang akan masuk di sekolah.

“Untuk Saprahan kami sedang menyusun buku muatan lokal (mulok) karena saprahan ini sudah termasuk sebagai warisan budaya tak benda. Sebelumnya kan permainan meriam karbit dan sekarang sudah masuk saprahan kemudian arakan pengantin terus batik corak insang, semua kearifan lokal ini masuk dalam pelajaran mulok,” ungkapnya.

Baca Juga :  Pesona Kulminasi Matahari, Ratusan Orang Padati Tugu Khatulistiwa

Tidak hanya budaya saprahan, permainan meriam karbit, arakan pengantin dan batik sorak insang yang sudah masuk dalam warisan budaya tak benda, beberapa budaya lainnya yang termasuk kearifan lokal akan masuk dalan buku muatan lokal.

“Supaya anak-anak kita mengetahui akar budaya Kota Pontianak,” imbuhnya.

Dilibatkannya pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) se-Kota Pontianak pada festival saprahan dijelaskan Mulyadi bahwa keterlibatan anak-anak SMP pada festival saprahan merupakan baru pertama kalinya dan kegiatan tersebut seharusnya dilaksanakan beberapa waktu lalu, namun karena banyak pertimbangan terutama turut meramaikan kegiatan Hari Jadi Kota Pontianak akhirnya baru bisa dilaksanakan hari ini.

“Kita harapkan peserta sekolah semakin bertambah dibandingkan tahun lalu ini sudah ada peningkatan dari 11 peserta tahun lalu sekarang ada 23 peserta, ke depan mungkin ini akan bertambah lagi dan kita juga sudah mengimbau sekolah-sekolah kalau perayaan hari ulang tahun di sekolah hendaknya memasukan salah satu budaya yang ada, seperti saprahan atau memakai batik corak insang,” imbaunya.

Dari sisi pendidikan, dijelaskan Mulyadi banyak dampak positifnya mengikuti kegiatan festival saprahan atau mempelajari budaya saprahan karena banyak ilmu yang bisa diperoleh diantaranya ada nilai-nilai kepemimpinan, kedisiplinan dan kerjasama serta ada nilai etika dan estetikanya.

“Nilai-nilai tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan pendidikan karakter yang ada dalam budaya sebagai kearifan lokal yang harus dipelajari dan wariskan kepada genarasi berikutnya, dan saya yakin jika semakin banyak kegiatan budaya dilakukan anak-anak kita tidak akan terpikir kepada hal-hal budaya yang tidak benar,” tukasnya.

Baca Juga :  Update Covid-19 di Kalbar, 13 PDP Dinyatakan Negatif, ODP Bertambah Jadi 3146 Orang

Festival Saprahan tingkat pelajar SMP se-Kota Pontianak yang diikuti 23 peserta dari SMP Negeri maupun swasta itu akhirnya dimenangkan peserta asal SMP Negeri 11 sebagai juara pertama, SMP Negeri 10 Sebagai juara ke dua, SMP Negeri 14 sebagai juara ke tiga, sedangkan SMP Negeri 4 sebagai juara harapan pertaman, SMP Bawari juara harapan tiga dan SMP Negeri 10 sebagai juara harapan tiga.

Saprahan dalam adat istiadat melayu berasal dari kata “saprah” yang artinya berhampar, yakni budaya makan bersama dengan cara duduk lesehan atau bersila di atas lantai secara berkelompok yang terdiri dari enam orang dalam satu kelompoknya.

Dalam saprahan, semua hidangan makanan disusun secara teratur di atas kain saprah. Sedangkan peralatan dan perlengkapannya mencakup kain saprahan, piring makan, kobokan beserta serbet, mangkok nasi, mangkok lauk pauk, sendok nasi dan lauk serta gelas minuman.

Untuk menu hidangan diantaranya, nasi putih atau nasi kebuli, semur daging, sayur dalca, sayur paceri nanas/terong, selada, acar telur, sambal bawang dan sebagainya. Kemudian untuk minuman yang disajikan adalah air serbat berwarna merah. (Fat/Jim Hms)

Comment