KPK Diharapkan Tak Sekedar Tetapkan Setnov Sebagai Tersangka Tapi Pastikan Juga Melalui Proses Pengadilan Hingga ke MA

KalbarOnline, Nasional – Seperti kata pepatah, sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga. Pribahasa tersebut mungkin sangat tepat ditujukan kepada Ketua DPR RI, Setya Novanto.

Walaupun Setnov (sapaan akrabnya) berulangkali bisa lolos dari berbagai skandal korupsi yang diduga melibatkan dirinya, diantaranya kasus Mega Korupsi Bank Bali 1998-2000, kasus Beras Impor 2010, kasus Proyek PON 2013, Setnov akhirnya ditetapkan sebagai tersangka pada kasus korupsi proyek E-KTP 2011-2012.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Umum Partai Golkar itu sebagai tersangka usai namanya berulang kali disebut oleh saksi dan muncul dalam tuntutan jaksa bersama Andi Narogong. Dirinya juga dicekal untuk bepergian ke luar negeri.

Novanto merupakan tokoh kunci dalam skandal mega korupsi yang merugikan keuangan negara Rp2,3 triliun dari proyek e-KTP senilai Rp5,9 triliun.

Ketua KPK, Agus Rahardjo, mengatakan, Setya Novanto menjadi tersangka karena diduga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan menyalahgunakan kewenangan serta jabatannya sebagai anggota DPR,” ujarnya, Senin (17/7).

Novanto yang kala itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar di DPR disangka telah mengkondisikan dalam pengadaan barang dan jasa proyek e-KTP.

Ia diduga memiliki peran dalam setiap proses pengadaan e-KTP. Mulai dari perencanaan, pembahasan anggaran, hingga pengadaan barang dan jasa pada tahun anggaran 2011-2012. Hal ini dilakukan melalui seorang pengusaha bernama Andi Agustinus alias Andi Narogong. Dalam dakwaan jaksa, Setnov dan Andi Narogong disebut mendapat pembagian anggaran e-KTP dalam jumlah yang sama, sebesar 11% atau Rp574,2 miliar.

Baca Juga :  Polisi Temukan Perusuh Bayaran Tunggangi Demo Tolak Omnibus Law

Dalam perkara ini, sudah ada 2 (dua) orang yang menjalani sidang yaitu mantan Dirjen (Dukcapil) Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto. Irman dituntut dengan pidana penjara tujuh tahun dan denda Rp500 juta subsidair enam bulan kurungan, sedangkan Sugiharto dituntut lima tahun penjara dan denda Rp400 juta subsidair enam bulan kurungan.

Terdakwa lain adalah anggota DPR dari fraksi Hanura Miryam S Haryani yang didakwa memberikan keterangan tidak benar dalam persidangan e-KTP dan sudah dalam proses persidangan pembacaan dakwaan pada 13 Juli 2017. Dua orang lainnya yang sudah ditetapkan sebagai tersangka yaitu Andi Agustinus dan anggota DPR dari fraksi Golkar Markus Nari.

Prestasi KPK tersebut patut diapresiasi dan masyarakat harus mendukung sepenuhnya sikap KPK yang memastikan kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP tidak berhenti pada penetapan Setya Novanto sebagai tersangka.

Publik menunggu gebrakan KPK lebih lanjut untuk membongkar juga terduga lain yang disebut dalam surat dakwaan dugaan kasus korupsi e-KTP, baik dari unsur legislatif, eksekutif, dan korporasi.

Baca Juga :  Royalti 0 Persen Hilirisasi Batu Bara Harus Selektif

Sementara mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD melalui cuitan di akun Twitternya mengatakan bahwa “masih banyak ‘hiu’ koruptor dalam kasus e-KTP. “Hidup KPK, dukung KPK. Kawal para penyidik KPK agar tak diganggu krn msh banyak hiu koruptor dlm kasus e-KTP. Doa tulus utk @KPK_RI,” tulis Mahfud MD di akun @mohmahfudmd, Senin (17/7) malam.

Ada banyak nama lain yang juga diduga menerima aliran dana korupsi e-KTP yang disebut dalam surat dakwaan. Mereka, diantaranya Yasona Laoly (Menteri Hukum dan HAM), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah) dan Olly Dondokambey (Gubernur Sulawesi Utara), Agun Gunandjar Sudarsa (Ketua Pansus Hak Angket KPK dari Fraksi Partai Golkar), Gamawan Fauzi (saat itu Menteri Dalam Negeri), Arif Wibowo (Fraksi PDIP), Chaeruman Harahap (Fraksi Partai Golkar).

Kembali ke penetapan Setnov sebagai tersangka, tugas strategis KPK bukan sekadar menetapkan Setya Novanto semata, tapi juga harus memastikan agar proses pasca penetapan dapat dilanjutkan hingga ke pengadilan dan dapat dibuktikan hingga ke tingkat Mahkamah Agung (MA). Jangan sampai kasusnya kandas seperti kasus ‘papa minta saham’, yakni dugaan permintaan saham PT. Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo. (Fai/Rocky)

Comment